Bulan suci ini akan segera pergi meninggalkan umat yang merinduinya sepanjang perjalanan tahun. Ramadhan selalu memiliki catatan tersendiri, kenangan dan kebahagiaan tersendiri bagi yang memulyakannya. Ramadhan juga memiliki catatan dan kengerian tersendiri bagi sebagian orang yang tak siap menyambutnya. Semua berpulang pada hakikat keimanan masing-masing, yang sejatinya bukan kita penentunya. Tapi biarlah Tuhan yang Maha Tahu, Maha Melihat, dan Maha segalanya. Tak seharusnya mereka yang sudah mendapat karunia hidayah lahir bathin, mengecam saudara-saudaranya yang masih tertatih merasakan nuansa Ramadhan. Ataupun mereka yang bahkan memilih berlari tiap kali Ramadhan datang di depan pintu.
Ramadhan ditunggu dan dinanti, dikeluhkan dan dihindari. Ramadhan adalah bulan paling fenomenal diantara kalender Hijriah umat muslim. Tanpa Ramadhan, umat senantiasa sulit diingatkan secara serentak. Ramadhan adalah pengingat, alarm Tuhan, “jeweran” Tuhan dan kasih sayang Tuhan pada umat muslim di seluruh jagad raya ini.

Lewat bulan yang seorang sahabat menamakannya sebagai bulan kawah candradimuka, umat muslim sedunia di ikat dalam satu kesatuan disiplin dalam menjalani peribadatan. Bulan dimana seluruh jiwa raga kaum muslim, kembali ditempa untuk menjadi wajah baru yang diharapkan lebih mencerahkan, lebih baik dari sebelas bulan sebelumnya. Dan tentunya diharapkan pula tetap konsisten menjaga hasil pencerahan itu sebelas bulan berikutnya pasca Ramadhan. Karena tentunya menjaga hasil tempaan ruhani dan jasmani tak semudah saat menjalankannya. Bahkan pemimpin umat muslim sedunia prophet Muhammad SAW telah memperingatkan lewat sabdanya, yang di abadikan dalam salah satu hadistnya.
”Banyak diantara umatku yang berpuasa hanya mendapatkan sekedar lapar dan dahaga”
Maka umat muslim yang menjadikan Ramadhan sebagai bulan untuk merenovasi seluruh fikiran dan hati, jauh-jauh hari mempersiapkan mental mereka agar tak jadi orang yang kalah. Kalah dalam mengendalikan hawa nafsu. Karena Tuhan sudah mengatakan dalam salah satu firman-NYA
“Puasa Itu untuk-KU. Dan AKU sendiri yang akan membalasnya”
Maka berlomba-lombalah umat muslim sedunia dalam kebaikan. Untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain. Belajar menghandle nafsu, dan bukan lagi dihandle nafsu. Agar ibadah tak lagi sebatas fisik tapi juga ruhani. Sehat lahir bathin, suci jiwa raga. Kembali ke fitrah.
Namun catatan Ramadhan tak hanya sebatas peribadatan saja, tapi juga realitas ditengah masyarakat luas. Khususnya di tanah air. Lihatlah mereka yang berdesak-desakan demi mendapatkan sebuah nasi bungkus untuk berbuka atau sahur, atau demi lembaran rupiah. Sudah menjadi fenomena tersendiri, hari raya (berlaku untuk semua umat) di negeri ini menjadi ajang saling berbagi. Maka tiap kali ada pembagian zakat, sedekah, infaq, angpau, bingkisan natal, dan sebagainya, panitia dan aparatpun dibuat heboh. Para petinggi negeri dibuat malu(seharusnya kalau mereka punya malu) oleh ulah kaum dhuafa yang saling ringkes, saling dorong, demi hasil yang mungkin bagi kita tak seberapa.
Diantara mereka tak jarang terdapat orang-orang lanjut usia, anak kecil dan ibu hamil. Bagi kaum dhuafa, panitia yang membagi-bagikan sembako ataupun uang adalah ibarat oase ditengah getir melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Ibarat semut mendatangi gula, tak kenal cuaca dimanapun ada panitia pembagian sembako, rakyat kecil akan berusaha mendatanginya. Mereka berjihad demi uang sepuluh ribu, tak memikirkan lagi pengorbanan apa yang akan mereka temui nanti. Yang penting ikut antri. Bahkan untuk uang sepuluh ribu. Sebab bagi mereka uang sepuluh ribu itu besaaaaarrrr! Maka berjihad untuk mendapatkannya adalah suatu keharusan, tak perduli bagaimanapun tantangannya. Nyawa sekalipun.
Maka berjatuhanlah sebagian dari mereka terinjak injak atau dehidrasi kepanasan. Jihad mereka sungguh tak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Tapi mereka tetap melakukannya karena memang butuh. Bandingkan dengan jihad anggota dewan yang terhormat dalam menggoalkan sebuah gedung mewah yang menurut mereka memang dibutuhkan. Lebih dibutuhkan daripada memeperbaiki sekolah rusak mungkin. Padahal jihad mereka seharusnya adalah menggoalkan plan-plan untuk kesejahteraan rakyat yang sudah mendudukkan mereka di kursi terhormat. Sungguh ironis ditengah bulan suci yang mulya ini. Disaat rakyat sedang mengantri beras dan uang selembaran, mungkin di tempat lain pengelola negeri ini juga tengah asyik merencanakan berbuka bersama di gedung-gedung mewah, atau di rumah mereka yang nyaman. Bersyukurlah kita yang masih bisa berjihad di jalan yang benar. Dengan mencari uang yang halal dan bukan karena hasil mencuri demi sesuap nasi, ataupun demi kebutuhan profesi. Bukan pula dengan mengorbankan banyak orang lewat air mata apalagi darah.
Ramadhan, janganlah pergi dulu. Luka-luka ini masih membasah. Belum sepenuhnya dapat tersembuhkan. Hati kami masih hitam. Sedangkan jangka waktumu hanya sebulan. Ramadhan hampir pergi, kita diminta membuka catatan masing masing. Aku melihat raport akhir Ramadhanku sepertinya merah semua. Benarkah? Sungguh hanyalah Tuhan yang Maha Menilai. Biarlah Tuhan yang tahu seberapa merah catatan akhir ramadhanku, seberapa biru dimata-NYA.
Siapalah kita ini yang masih bisa tersenyum menyantap penganan berbuka dan sahur tanpa harus mengantri di tengah teriknya mentari. Siapalah kita ini yang masih mampu mengantri di mall-mall untuk berburu baju dan sepatu baru. Siapalah kita ini yang masih bisa mengunjungi sanak famili dalam rangka mudik dan berbagi oleh oleh. Siapalah kita ini yang masih bisa beribadah dengan tenang di tengah sejuknya AC mesjid yang megah ataupun di tanah suci. Siapalah kita ini yang masih mampu belanja untuk hari raya dengan segala kecukupan. Sungguh, Ramadhan tidak hanya sebatas ibadah fisik, tapi juga mengajarkan saya dan siapapun kita untuk jauh lebih bersyukur.
Selamat Hari Raya Idul Fitri bagi sahabat dan teman-teman kabarsehat. Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Semoga menjadi hari pencerahan bagi kita semua. Amin.
Oleh Sayuri Yosiana
1 thought on “Catatan Akhir Ramadhan”